Seorang bayi rata-rata pernah jayuh lebih
dari 200 kali untuk bisa berjalan. Setiap jatuh, ia menangis sesaat, lalju
bangkit lagi. Mencoba berjalan. Belum kuat berjalan, maka ia akan
merangkak, dan merangkak. Kemudian ia mencoba berdiri dan terjatuh lagi..
mencoba lagi dan jatuh lagi. Kali ini ia tidak menangis, ia langsung berdiri
dan berpegangan, dan akhirnya bisa berdiri . walaupun sesaar, dan lihat
bibirnya, bsyi itu tersenyum manis.
Itulah kecerdasan bayi. Meskipun
akalnya belum sempurna, matanya belum bisa membedakan warna, kakinya belum
mampu menapaki jalan raya, namun jiwanya yang suci, yang belum tersentuh dosa,
telang membimbingnya mencapai kecerdasan hakiki. Seorang bayi tidak pernah
putus asa. Tidak ada ceritanya seorang bayi ngambek gak mau berjalan hanya
karena terjatuh satu kali.
Kecerdasan inilah yang harus terus
dipelihara dan digali seiring pertumbuhan dan perkembangan fisik manusia. Namun
sayangnya, banyak anak-anak mulai mengenal sekolah, melupakan kecerdasan
natural bawaan itu dan mengasah kecerdasan otak belaka. Kecerdasan yang
dimaksud adalah kecerdasan tidak putus asa walaupun sudah gagal berkali-kali.
Kecerdasan seorang pembelajar sejati, yang terus mencoba, dan mencoba.
Pembelajar yang terus belajar dan belajar sampai apa yang diinginkannya
tercapai.
Lihat saja kecerdasan bayi ketika
belum bisa bicara, dan mau memulai belajar bicara. Untuk bisa mengatakan satu
patah kata “bapak” atau “ibu”, ia menyerahkan seluruh kemampuannya, mengalahkan
keterbatasan atas belum maksimalkerja pendengarannya,belum optimalnya kerja
memori otaknya, dan keterbatasan pandangannya.dan lihatlah seorang ibu yang
terus melatih, mengulang-ulang satu patah kata “ibu” atau “bapak” setiap hari
tanpa mengenal lelah. Hingga akhirnya, sang anak bisa mengucapkannya.
Itulah kecerdasan duplikasi.
Kecerdasan untuk mencontoh dan meniru sekelilingnya. Kecerdasan duplikasi yang
tak mengenal putus asa adalah rahasia kesuksesan pelajar, dengan satu syarat,
bahwa segala hal yang ditiru adalah hal yang baik, hal yang positif. Inilah
yang harus diperhatikan oleh para pendidik, bahwa mendidik bukan sekedar
transfer ilmu, melainkan juga akhlak dan perilaku.
Namun para guru sekarang lupa akan
pentingnya kecerdasan emosi, mental, dan spiritual mereka. Parameter cerdas
tidaknya siswa tidak hanya diukur dari angka” sehingga yang terjadi banyak
anak-anak pintar secara intelektual tapi mudah putus asa, berbohong, dan tidak
berperilaku baik. Mereka mudah terpengaruh zaman. Maka jangan salahkan jika
mereka menjadi generasi yang rapuh,pembunuh, putus asa yang memilih bunuh diri
untuk menghindari masalahnya.
Tampaknya tak salah jika mengambil
kesimpulan bahwa fenomena itu adalh prosuk dari pendidikan yang dilakukan
selama ini. Bukan keberhasilan dalam pendidikan, tetapi kegagalan dalam
pembentukan mental, emosi, dan karakter mereka. Bukan ketawadhu’an yang
ditunjukkan, tetapi kesombongan dan kepongahan.. bukan kecerdasan seorang bayi
yang diekspresikan, namun perilaku urakan yang tidak mengenal adab kesopanan
dan agama.
Seorang bayi adalah lambang
kesucian. Berangsiapa ingin memperoleh kesuksesan, maka kembalilah “ menjadi
bayi”- ingin kembali pada kesucian diri, kembali pada fitrah.
24-01-2016
Referensi : Buku La Tahzan For Student
0 komentar:
Posting Komentar