Kecerdasan Seorang Bayi

on Kamis, 28 Januari 2016
   
Seorang bayi rata-rata pernah jayuh lebih dari 200 kali untuk bisa berjalan. Setiap jatuh, ia menangis sesaat, lalju bangkit lagi.  Mencoba berjalan. Belum kuat berjalan, maka ia akan merangkak, dan merangkak. Kemudian ia mencoba berdiri dan terjatuh lagi.. mencoba lagi dan jatuh lagi. Kali ini ia tidak menangis, ia langsung berdiri dan berpegangan, dan akhirnya bisa berdiri . walaupun sesaar, dan lihat bibirnya, bsyi itu tersenyum manis.


  Itulah kecerdasan bayi. Meskipun akalnya belum sempurna, matanya belum bisa membedakan warna, kakinya belum mampu menapaki jalan raya, namun jiwanya yang suci, yang belum tersentuh dosa, telang membimbingnya mencapai kecerdasan hakiki. Seorang bayi tidak pernah putus asa. Tidak ada ceritanya seorang bayi ngambek gak mau berjalan hanya karena terjatuh satu kali.


  Kecerdasan inilah yang harus terus dipelihara dan digali seiring pertumbuhan dan perkembangan fisik manusia. Namun sayangnya, banyak anak-anak mulai mengenal sekolah, melupakan kecerdasan natural bawaan itu dan mengasah kecerdasan otak belaka. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan tidak putus asa walaupun sudah gagal berkali-kali. Kecerdasan seorang pembelajar sejati, yang terus mencoba, dan mencoba. Pembelajar yang terus belajar dan belajar sampai apa yang diinginkannya tercapai.


  Lihat saja kecerdasan bayi ketika belum bisa bicara, dan mau memulai belajar bicara. Untuk bisa mengatakan satu patah kata “bapak” atau “ibu”, ia menyerahkan seluruh kemampuannya, mengalahkan keterbatasan atas belum maksimalkerja pendengarannya,belum optimalnya kerja memori otaknya, dan keterbatasan pandangannya.dan lihatlah seorang ibu yang terus melatih, mengulang-ulang satu patah kata “ibu” atau “bapak” setiap hari tanpa mengenal lelah. Hingga akhirnya, sang anak bisa mengucapkannya.


  Itulah kecerdasan duplikasi. Kecerdasan untuk mencontoh dan meniru sekelilingnya. Kecerdasan duplikasi yang tak mengenal putus asa adalah rahasia kesuksesan pelajar, dengan satu syarat, bahwa segala hal yang ditiru adalah hal yang baik, hal yang positif. Inilah yang harus diperhatikan oleh para pendidik, bahwa mendidik bukan sekedar transfer ilmu, melainkan juga akhlak dan perilaku.


  Namun para guru sekarang lupa akan pentingnya kecerdasan emosi, mental, dan spiritual mereka. Parameter cerdas tidaknya siswa tidak hanya diukur dari angka” sehingga yang terjadi banyak anak-anak pintar secara intelektual tapi mudah putus asa, berbohong, dan tidak berperilaku baik. Mereka mudah terpengaruh zaman. Maka jangan salahkan jika mereka menjadi generasi yang rapuh,pembunuh, putus asa yang memilih bunuh diri untuk menghindari masalahnya.


  Tampaknya tak salah jika mengambil kesimpulan bahwa fenomena itu adalh prosuk dari pendidikan yang dilakukan selama ini. Bukan keberhasilan dalam pendidikan, tetapi kegagalan dalam pembentukan mental, emosi, dan karakter mereka. Bukan ketawadhu’an yang ditunjukkan, tetapi kesombongan dan kepongahan.. bukan kecerdasan seorang bayi yang diekspresikan, namun perilaku urakan yang tidak mengenal adab kesopanan dan agama.


  Seorang bayi adalah lambang kesucian. Berangsiapa ingin memperoleh kesuksesan, maka kembalilah “ menjadi bayi”- ingin kembali pada kesucian diri, kembali pada fitrah.

24-01-2016
Referensi : Buku La Tahzan For Student



0 komentar:

Posting Komentar